HarianNTB.com – Hasil riset yang dilakukan ilmuwan Prancis, Lavigne bersama timnya menyebut dampak global letusan Gunung Samalas yang terjadi pada tahun 1257 silam. Letusan Gunung Samalas yang belakangan diketahui letaknya ternyata berdampingan dengan Gunung Rinjani di Lombok itu mulai terasa dampaknya pada 1258 hingga 1259 di Eropa Barat.
Krisis yang terjadi di rentang tahun itu berupa gagal panen, kelaparan, hujan hampir sepanjang tahun, gangguan cuaca dan perubahan iklim. Salah satu yang dijadikan data petunjuk dalam penelitian yang dilakukan oleh Lavigne adalah Babad Lombok, yang di dalam bagiannya menceritakan tentang dampak letusan dari Gunung Samalas.
Namun, di luar itu, patut untuk dipertimbangkan oleh kita bahwa peristiwa dan dampak letusan Samalas yang diceritakan di dalam Babad Lombok tersebut bisa dijadikan sebagai khasanah pengetahuan lokal yang mengandung nilai-nilai kearifan.
Tradisi lisan seperti pembacaan hikayat atau bekayat yang dimiliki masyarakat Lombok bisa dimanfaatkan sebagai medium penyampaian pesan atau diseminasi tentang kisah-kisah penting yang terjadi di masa lalu.
Bentuk story telling yang bisa dijadikan contoh baik, misalnya tradisi yang ada di masyarakat Simeulue yang menjadikan kisah Smong sebagai literasi kebencanaan.
Alfi Rahman di dalam artikelnya yang termuat di The Conversation dan terbit pada 23 Oktober 2018 lalu menjelaskan tentang Smong di dalam tradisi tutur Nafi-nafi yang dimiliki masyarakat Simeulue.
Nafi-nafi berkisah tentang kejadian tsunami yang terjadi pada tahun 1907 di daerah Simeulue. Kisah dalam Smong ini menceritakan secara runut kejadian tsunami, yaitu saat terjadi gempa bumi besar, air laut surut, dan air laut naik ke darat.
Kisah Smong, kata Alfi Rahman juga menceritakan tindakan yang perlu dilakukan, yaitu segera menjauhi pantai atau menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi seperti bukit.
Di samping itu, di dalam kisah Smong, masyarakat dianjurkan untuk membekali diri dengan membawa beberapa barang seperti beras, gula, garam, korek api, baju dll. Bekal tersebut diperlukan selama di tempat pengungsian sementara.
Kisah Smong dalam Nafi-nafi tersebut mengandung pula anjuran untuk mendiseminasikan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Simeulue kepada generasi selanjutnya.
Contoh lain, dari adanya pesan moral untuk menjaga alam ini juga termaktub di syair sebuah lagu daerah yang cukup terkenal di NTB, terutama di daerah Bima dan Dompu. Lagu itu berjudul Nggahi Rawi Pahu yang diciptakan oleh Jhony Keke Balukea.
Berikut ini teks syair lagu Nggahi Rawi Pahu yang dimaksud dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
“Tio pu lao na Nggahi rawi pahu Kau na ngaha Aina ngoho Doro ra wuba Fu’u ba oi
Dompo ra fati Na wa’ura mango Wa’ura kola
Ngoho ba dou Maju ndere kala Na waura mbora Mbere ma mai Ti wau di tapa Makalino rasa Dana ra dembi”
“Lihatlah wujud nyata Nggahi rawi pahu (semboyan ‘selaras perkataan dengan perbuatan’) Dipersilakan untuk mencari nafkah Tanpa harus menebang hutan Gunung dan hutan Sumber mata air Dipotong dan ditebang Kini telah mengering (Hutan) telah gundul Ditebang oleh orang-orang Rusa berbulu merah Kini telah menghilang Banjir yang datang
Tak mampu dibendung Yang menggenangi perkampungan Persawahan dan perbukitan”
Lagu Nggahi Rawi Pahu itu diciptakan sekitar tahun 1980an. Jika melihat tahun penciptaannya bahwa jauh hari syair lagu ini telah mengingatkan tentang dampak kerusakan lingkungan dari adanya aktivitas perambahan liar dan alih fungsi lahan yang masif terjadi.
Lagu Nggahi Rawi Pahu bisa jadi sebagai peringatan bagi manusia agar senantiasa menjaga alam dan tidak membuka lahan dengan cara menebang pohon yang mengakibatkan kerusakan ekologis.
Banjir bandang yang pernah terjadi di Bima tahun 2016 yang lalu juga menjadi salah satu peringatan penting bagi kita semua.
Nah, salah satu kegiatan dari implementasi program Membangun Ketangguhan Bencana dan Pemulihan Penghidupan Pasca Pandemi Covid-19, yang dikerjakan oleh konsorsium KONSEPSI NTB dan Mitra Samya atas dukungan dari SIAP SIAGA berupaya untuk menggali nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki komunitas dampingan yang ada di Kabupaten Lombok Utara dan Lombok Tengah. (*)
*) Penulis: Harianto – Staf KONSEPSI NTB
*) Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, bukan tanggung jawab redaksi harianntb.com.