Mataram, HarianNTB.com – Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tengah merancang peleburan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) ke dalam Dinas Sosial.
Langkah ini menuai kritik keras dari Suara Perempuan Nusantara (SPN), organisasi advokasi berbasis di Kota Mataram, yang menilai kebijakan tersebut sebagai bentuk pelemahan terhadap upaya perlindungan perempuan dan anak.
Ketua Suara Perempuan Nusantara, Nur Khotimah, menegaskan bahwa keputusan ini justru muncul di tengah lonjakan kasus kekerasan seksual di NTB, mulai dari pesantren hingga kampus.
“Ketika angka kekerasan meningkat, pemerintah justru mengikis struktur yang selama ini menjadi benteng pertama korban. Ini ironis dan membahayakan,” ujar Nur Khotimah dalam keterangan tertulis yang diterima Harian NTB, Minggu (27/4/2025).
Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2024, kata Nur Khotimah, terjadi lonjakan lebih dari 30 persen kasus kekerasan berbasis gender secara nasional.
“Di NTB, berbagai laporan lokal beberapa bulan terakhir mengungkapkan peningkatan signifikan kekerasan di lingkungan pendidikan dan domestik, mempertegas urgensi penguatan, bukan pelemahan, institusi perlindungan korban,” jelasnya.
Rencana peleburan DP3AKB disebut-sebut sebagai bagian dari efisiensi birokrasi. Namun, Suara Perempuan Nusantara mengingatkan bahwa isu perlindungan perempuan dan anak tidak bisa diperlakukan semata sebagai soal administrasi teknis.
“Ketika fungsi perlindungan perempuan dan anak dilebur ke dalam dinas dengan beban kerja yang sangat luas, korban akan kehilangan jalur pertolongan yang cepat, sensitif, dan fokus,” kata Nur Khotimah.
Dikatakan, bahwa selama ini DP3AKB memiliki mandat khusus untuk menangani laporan kekerasan seksual, menyediakan layanan konseling, pendampingan hukum, hingga shelter sementara bagi korban.
Ia juga menilai jika DP3AKB dilebur, dikhawatirkan layanan-layanan vital ini akan terdilusi di tengah prioritas lain Dinas Sosial yang beragam, mulai dari penanganan kemiskinan hingga rehabilitasi sosial umum.
“Ini bukan sekadar perubahan struktur. Ini tentang kehidupan nyata para korban yang semakin sulit mendapatkan keadilan,” tegas Nur Khotimah.
Suara Perempuan Nusantara menilai langkah ini bertentangan dengan semangat konstitusi yang menjamin hak atas rasa aman setiap warga negara, khususnya perempuan dan anak.
Untuk itu, pihaknya mendesak Pemprov NTB untuk membatalkan rencana peleburan dan sebaliknya memperkuat kelembagaan perlindungan korban di tingkat daerah.
“Negara seharusnya memperluas perlindungan, bukan mempersempit. NTB harus berdiri di barisan daerah yang berpihak pada korban, bukan sebaliknya,” katanya.
Hingga saat ini, kata Nur, Pemprov NTB belum menyampaikan keterangan resmi terkait rincian implementasi maupun mitigasi risiko atas rencana peleburan tersebut. (Red)