HarianNTB.com – Berdasarkan Kajian Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), salah satu wilayah yang rawan terkena gempa bumi karena posisi geografisnya yang dekat dengan Sesar Naik Flores (Flores Back Arc Thrusting) dan zona subduksi lempeng Indo-Australia.
Kondisi geografis itu adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa ditolak. Namun demikian, para leluhur, nenek moyang orang Bayan di Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara rupanya punya teknologi, bagaimana beradaptasai dengan kondisi geografis itu. Mamiq Riazim, 80 tahun, seorang tokoh adat atau sering disebut Penghulu Adat di Desa Bayan Kecamatan Bayan, menyebutkan bahwa nenek moyang atau leluhur terdahulu telah mewariskan teknologi bangunan ramah gempa melalui konstruksi rumah adat atau rumah tradisional yang hingga hari ini, dapat disaksikan keberadaannya. Seperti rumah penghulu adat Bayan yang berusia 14 abad, yang masih berdiri kokoh meski diguncang puluhan ribu kali gempa.
”Kalau kita hitung dari abad ke-14 itu, kurang lebih sampai puluhan ribu kali gempa, dan kondisi rumah tradisional tidak rusak termasuk gempa 2018 yang paling menyakitkan tetapi keadaan bangunannya tetap utuh,’’ kata Riazim, “sementara rumah tembok yang lainnya mengalami kerusakan dan roboh.”
Atas kejadian itu, dipastikan bahwa struktur rumah adat tradisional merupakan warisan masyarakat di Lombok Utara yang tangguh terhadap gempa. Rumah tradisional yang dirancang sesuai dengan kondisi alam dan arsitektur sebagai rumah vernakuler merupakan respon lokal terhadap kondisi alam.
Menurut Riazim, saat ditemui di kediamannya, Jum’at (26/3/2022), struktur rumah tradisional atau rumah adat lebih kuat dan kokoh daripada rumah-rumah tembok saat diguncang gempa. Rumah adat dan rumah tradisional terbuat dari kayu, karena ketika itu belum ada semen, batako atau bahan bangunan lainnya. Bahan kayu dipercaya masyarakat mampu menahan guncangan gempa karena struktur bangunan berbahan dasar kayu akan elastis.
“Kalau dari segi rumah Bayan asli masih utuh, kalau kita mengambil kekuatan untuk anti gempa itu hanyalah rumah bertiang kayu saja (rumah tradisional-red), tapi kalau tidak bertiang, berupa tembok akan rusak,’’ katanya.
Secara detail Riazim menjelaskan rumah tradisional atau rumah adat di Desa Bayan semuanya menggunakan bahan-bahan yang bersumber dari alam setempat, mulai dari kayu Bajur, Gerasak, Suren, Saling Wuru, Bambu, dan alang-alang untuk membuat atap rumah.
“Kalau bahan rumah adat terdiri dari kayu asli yaitu Bajur, Gerasak, Suren, Saling Wuru, itu yang dipakai dan bahan lainnya ya itu dari bambu, dan atapnya itu dari Alang-alang,” jelasnya.
Sementara pondasi rumah-rumah tradisional atau rumah adat terbuat dari bebatuan yang disusun sedemikian rupa, dan dindingnya terbuat dari bambu dan tiangnya dari kayu. Kemudian menggunakan tali ijuk yang terbuat dari pohon aren untuk mengikat atap, kayu ataupun dinding.
Untuk mendirikan rumah adat seperti rumah adat penghulu setidaknya membutuhkan 31 tiang kayu. “Kalau rumah adat penghulu itu terdiri dari 31 tiang, 25 tiang keliling, ditambah 6 tiang di bagian tengah, jadi sebanyak 31 tiang,” katanya.
Seiring dengan perkembangan zaman yang begitu pesat, rumah-rumah tradisional dan rumah adat yang berusia ratusan tahun dan terbukti bertahan menghadapi guncangan gempa itu kini sudah mulai ditinggalkan.
“Kebanyakan rumah warga beralih ke tembok, di wilayah ini kemungkinan sudah tidak ada yang menggunakan,” kata Riazim.
Menurutnya, perubahan rumah-rumah tradisional itu mulai beralih ke tembok sejak pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Pemerintah saat itu menyediakan berbagai bahan bangunan seperti semen, bata, dan bahan bangunan lainnya.
Selain itu, berbagai program bantuan rumah dari pemerintah turut menggerus keberadaan rumah tradisional seperti bantuan rumah kumuh atau bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH).
“Bantuan RTLH itu menurut saya salah, kenapa dikatakan tidak layak huni kenapa? yang penting kekuatannya itu yang kita pikirkan,” seru Riazim.
Dirinya menilai ada “Campur tangan pemerintah yang mengurangi rumah adat itu sendiri,” katanya.
Hal serupa disampaikan Wakil Kepala Sekolah Adat Bayan (SAB) Sumadim saat ditemui Harian NTB di Sekertariat SAB, Dusun Padang Mangko Desa Bayan. Sumadim juga memandang ada kesalahan dalam menilai keberadaan rumah tradisional di Desa Bayan, yang kemudian melahirkan kebijakan berbagai bantuan rumah dari pemerintah seperti bantuan Rumah Kumuh atau RTLH.
“Karena bantuan-bantuan ini rumah tradisional jadi hilang, karena dianggap rumah adat ini tidak layak huni karena ilalang, pagarnya pagar bambu, lantai tanah sehingga diberi bantuan” ungkap Sumadim kepada Harian NTB, Jum’at (25/3/2022).
Rumah-rumah tersebut dianggap tidak layak huni oleh pemerintah dan dinilai tidak sehat, sehingga pemerintah memberikan bantuan rumah. Sebelumnya, kata Sumadim, terdapat salah satu rumah tradisional yang masih berdiri, kemudian diubah menjadi rumah tembok setelah mendapat bantuan dari pemerintah.
“Dulu bale mengina (rumah adat tradisional-red) ada, sekarang sudah tak ada, setelah dapat bantuan rumah kumuh jadi pagarnya (dinding bambu) dilepas diganti batako, sehingga saat gempa kemarin rusak,” katanya.
Menurut Sumadim, jika pemerintah memberikan bantuan pemerintah tidak harus merubah tradisi atau budaya.
“Sebenarnya kalau kita mengacu kepada pemerintah yang memberikan bantuan itu tidak harus merubah tradisi atau budaya,” katanya.
Dende (35), salah satu korban gempa tahun 2018 di Desa Karang Bajo Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara. Musibah itu sudah tiga tahun berlalu, tapi seperti enggan untuk pergi dari ingatan Dende (35). Saat gempa berkekuatan 7 Skala Richter mengguncang Lombok, 5 Agustus 2018, warga Desa Karang Bajo, Lombok Utara tengah menjalani shalat Isya berjamaah di masjid.
Dende menuturkan ketika itu kedua anaknya tengah sakit, guncangan yang sangat keras membutnya panik, meskipun tembok rumahnya tidak roboh, namun trauma tak kunjung hilang hingga saat ini.
“Temboknya tidak roboh, tapi masih trauma kami pakai rumah tembok, tidak siap,’’ kenang Dende, sambil memandangi rumah tradisional miliknya, seolah merasa terlindungi di bawah rumah bertiang kayu, berdinding anyaman bambu yang kini ditempatinya.
Meski kerusakan rumahnya tergolong rusak sedang, tetapi hampir sebagian besar rumah tembok di Desanya mengalami kerusakan yang cukup parah. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Lombok Utara Tentang Penetapan Hasil Validasi Nama-Nama Penerima Bantuan Stimulan Rumah Korban Bencana Akibat Gempa Bumi Tahun 2018 Tahap I dan II, sebanyak 831 unit rumah mengalami Rusak Berat, 1.229 Rusak Sedang, dan 115 Rusak Ringan.
Dua guncangan gempa yang melanda Lombok 2018 silam, dialami Dende saat dia tengah berada di rumah berdinding tembok. Ketika gempa pertama terjadi pada 29 Juli 2018, ia dan keluarganya tinggal di rumah bapak mertuanya, sebuah rumah berdinding tembok yang berada sekitar satu kilometer dari kampung adat Karang Bajo, tempat dia bermukim saat ini.
Usai guncangan gempa 6,4 SR itu, dia mengungsi ke rumah adat Karang Bajo, tempat yang diyakini untuk berlindung. Sayang, dia hanya sepekan di sana, lalu kembali ke rumah mertuanya. Tak lama berada di rumah berdinding tembok itu, gempa susulan yang ditakutkan benar-benar terjadi. Kali ini kekuatannya 7,0 SR, dan daya rusaknya juga lebih parah dari gempa sembalunya. Episentrumnya di Lombok Utara.
Saat itu, bukan hanya rumah tembok miliknya yang diguncang, namun rumah warga lainnya diluluh lantahkan oleh gempa, termasuk rumah kakak Dende. Ketika itu situasi sangat menegangkan, seluruh warga berteriak, lampu mati dan semua warga berlari menyelamatkan diri. Kini Dia lebih memilih tinggal di rumah tradisional bersama kedua anak dan suaminya. ”Saat gempa rumah tradisional ini ndak kenapa-kenapa, hanya goyang, saya tinggal disini bersama kedua anak, dan suami,’’yakinnya.
Tantangan Rumah Tradisional
Tak dipungkiri keberadaan rumah adat dan rumah tradisional, dirasakan aman dan nyaman oleh warga, namun ketersediaan bahan baku, adalah salah satu kendala mengembalikan keberadaan rumah adat di Lombok Utara.
Seperti yang dirasakan Dende. Baginya lebih nyaman menetap di rumah tradisional karena aman dari gempa, meski dia mengakui kerap terlihat kumuh jika hujan datang dan bocor di sejumlah titik atap alang alang miliknya yang terus menua. “pas ujan bocor, sudah tidak layak,’’ keluhnya.
Dende mengharapkan bantuan atap yang terbuat dari alang alang, agar lebih nyaman tinggal di rumah tradisional, karena masih trauma dengan rumah tembok, atas kejadian gempa yang berkali kali dialaminya. Terlebih rumah tradisional yang ia diami saat ini memang sudah saatnya diperbaiki, mengingat telah 8 tahun belum pernah direnovasi.
Renovasi rumah adat dan rumah tradisional membutuhkan biaya yang tak sedikit, hampir mencapai jutaan rupiah hanya untuk membeli atap. Selain biaya, bahan-bahannya pun kini sulit diperoleh.
Kepala Sekolah Adat Bayan, mengakui bahwa biaya perawatan antara rumah tembok dengan rumah tradisional lebih mahal karena materialnya sudah langka.
“Alang-alang saja sudah mulai langka, sekarang lebih banyak ngambil dari Lombok Timur,” ungkapnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, pihaknya saat ini tengah memetakan beberapa wilayah untuk mengembangkan Alang-alang dan bahan lainnya.
“Makanya kita di SAB bersama teman-teman yang lain memetakan beberapa wilayah yang ke depannya untuk kembangkan alang-alang. Termasuk bambu juga, wilayahnya juga kita petakan. Bahan-bahan tersebut agak susah tapi masih tersedia,” jelasnya.
Dia berharap, agar pemerintah mengembalikan lahan adat pada masyarakat adat, mengingat hak hulayat itu sudah banyak dikuasai Negara. Lahan lahan adat bisa digunakan untuk menanam kembali bahan bahan untuk kebutuhan rumah adat masyarakat Bayan.
‘’Pertama kembalikan lahan adat karena saat ini beberapa lahan adat itu sudah bersertifikat pemda sudah dikuasi negara. Kalau lahan itu sudah kembali, masyarakat adat akan membuat peta ulang untuk menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan rumah tradisional,’’ katanya.
Sejauh ini, kata Renadi, pada saat gempa terjadi, sekitar 60 persen korban gempa menginginkan rumah kayu karena di Lombok Utara rawan gempa. ‘’warga sudah memahami bahwa struktur rumah lokal itu mucul karena memiliki pengalaman panjang bahwa disini (Lombok Utara) daerah rawan gempa,’’ katanya.
Sehingga pihaknya bersama masyarakat adat yang didampingi beberapa Lembaga Swadya Masyarakat (LSM) merancang dan mengajukan struktur rumah adat dalam pilihan struktur rumah tahan gempa (RTG) ke pemerintah. Salah satu contohnya adalah Rumah Instan Kayu (Rika), yang telah diusulkan dan telah digunakan oleh korban gempa Lombok saat ini.
Sementara itu, Kepala Bidang Rehabilitsi dan Konstruksi BPBD Lombok Utara, Ali Imron, saat ditemui diruang kerjanya, Selasa (19/4/2022) mengaku, tidak mempunyai data terkait jumlah korban gempa Lombok Utara yang memilih masing-masing jenis rumah tahan gempa dari 18 jenis rumah yang direkomendasikan termasuk Rumah Kayu (Rika).
‘’Mungkin nanti kalau mau lengkap minta di fasilitator ada di Posko Terpadu Rehab Rekon, kalau disini kita secara umum saja, kalau di fasilitator mungkin ada rinciannya karena mereka yang mendampingi,’’ ungkap Ali Imron saat ditermui di ruang kerjanya, Selasa (19/4/2022).
Namun, ia memperkirakan korban gempa di Lombok Utara lebih banyak memilih rumah Riko (Rumah Konvensional) daripada Rika, ‘’kayaknya hampir 70 persen warga memilih Riko, tapi itu kira-kira ya karena belum tau rincian pastinya,’’ katanya
Sebelumnya, ‘’awal-awalnya memang banyak sih yang memilih Rika tapi lama-lama dilihat dan dibandingkan dengan Riko malah warga beralih ke Riko,’’ katanya.
Di tempat terpisah, hal serupa juga disampaikan Asisten Kordinator Wilayah (Askorwil) Fasilitator RTG Lombok Utara Ramdhan mengaku, rata-rata kebanyakan korban memilih Riko.
‘’Rata-rata kebanyakan Riko sih sekitar 80 persenan, Rika sekitar 20 persen,’’ ujar Ramdhan, Selasa (19/4/2022).
Namun, dirinya mengaku belum memiliki data pasti terkait jumlah korban gempa yang memilih jenis rumah. ‘’Datanya belum bisa sekarang karena kami masih olah data, validasi data ini karena teman-teman di lapangan masih bekerja juga biar tidak salah nanti’’ katanya.
Dirinya menjanjikan data tersebut akan dikirimkan dalam waktu dua Minggu, namun hingga berita ini dimuat data tersebut belum diterima Harian NTB. (DMS)