Tingginya angka perceraian di NTB
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri, hingga juni 2021 tercatat lebih dari 3,97 juta penduduk Indonesia berstatus perkawinan cerai hidup. 109,7 ribu diantaranya merupakan penduduk Nusa Tenggara Barat. Hal ini yang menjadi alasan NTB masuk jajaran 10 provinsi dengan penduduk berstatus perkawinan cerai hidup terbanyak di Tanah Air. Angka tersebut bahkan belum termasuk jumlah perceraian yang tidak tercatat atau cerai di bawah tangan.
Menurut Hukum Islam, perceraian merupakan perbuatan halal namun paling dibenci Allah. Meskipun Allah membenci perceraian namun apabila dalam perkawinan tersebut terdapat lebih banyak mudharatnya dibandingkan dengan manfaatnya, maka perceraian dapat dilakukan alih-alih mempertahankan perkawinan. Sama seperti perkawinan yang pelaksanaannya diatur dalam ketentuan perundang-undangan, perceraian yang sah juga harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu dengan pengajuan permohonan cerai pada pengadilan agama bagi yang beragama Islam, dan pengadilan negeri bagi yang bukan beragama islam.
Meskipun pada dasarnya konsep perceraian dimaksudkan untuk mengurangi kemudharatan, namun pada kenyataannya setelah terjadi perceraian justru menimbulkan hal-hal yang merugikan. Pihak yang paling sering dirugikan setelah terjadinya perceraian adalah perempuan dan anak. Banyak anak yang tumbuh tanpa kasih sayang dan perhatian yang lengkap, serta tidak terpenuhi kebutuhan jasmani maupun psikologisnya akibat perceraian orang tuanya. Sementara itu, perempuan yang bercerai juga seringkali diketahui tidak memperoleh hak-haknya, mulai dari harta gono gini, utang mahar, hingga nafkah iddah yang semestinya diberikan oleh mantan suaminya meskipun telah bercerai. Ada juga ibu yang tidak mendapat akses yang bebas untuk menemui anak kandungnya pasca perceraian. Meskipun hal-hal seperti ini sangat tidak adil bagi perempuan dan anak, namun dengan banyaknya kasus serupa yang terjadi, ketidakadilan tersebut justru dianggap sebagai hal yang lumrah dan patut diterima dengan ikhlas oleh siapapun yang mengalaminya.
Faktor tidak terpenuhinya hak pasca perceraian
Ada banyak faktor yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak perempuan dan anak pasca perceraian. Faktor utama yang seringkali menjadi penyebab tidak terpenuhi hak perempuan dan anak pasca perceraian adalah tidak adanya kesadaran dari mantan suami/ayah untuk memenuhi kewajibannya. Hal tersebut semakin didukung dengan tidak adanya pembicaraan bersama antara suami dan istri mengenai pembagian harta bersama, pelunasan mas kawin atau mahar terutang, pengasuhan anak dan hal-hal krusial lainnya yang semestinya disepakati dalam proses perceraian. Faktor lainnya yaitu kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan bagi mantan suami untuk mampu memenuhi kebutuhan anak dan mantan istri, faktor ini dalam beberapa kasus juga menjadi alasan terjadinya perceraian. Selain itu, di beberapa daerah tertentu, masih lekat dengan ketentuan adat atau tradisi yang menentukan bahwa setelah terjadinya perceraian, mantan istri yang harus pergi meninggalkan rumah dan kembali ke keluarganya dengan tidak membawa apa-apa. Dengan demikian, meskipun dalam pernikahannya telah diperoleh sejumlah harta bersama seperti rumah, sawah dan lain sebagainya, namun karena adanya ketentuan adat tersebut maka mantan istri tidak seolah-olah tidak berhak sama sekali atas bagian dari harta bersama tersebut.
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa ada faktor internal dari dalam diri mantan istri yang juga mempengaruhi pemenuhan hak pasca perceraian. Faktor internal ini meliputi kesadaran dari perempuan untuk memperjuangkan haknya dan juga hak dari anak-anaknya, maupun faktor internal dari diri perempuan yang seringkali merasa malu dan merasa rendah diri apabila menuntut haknya kepada mantan suami. Untuk mengatasi hal-hal tersebut, diperlukan keberanian dari dalam diri yang tentu saja didukung oleh keluarga dan lingkungan sekitar.
Jangan malu perjuangkan hak
Meminta mantan suami untuk menjalankan kewajibannya memenuhi kebutuhan anak, selain untuk kepentingan anak namun juga memberikan kesadaran kepada seorang ayah untuk bertanggungjawab dan menjalankan ketentuan agama serta hukum negara. Dengan demikian, seorang ibu tidak perlu merasa malu menuntut mantan suami sebagai ayah dari anak-anaknya untuk melakukan apa yang sudah semestinya dilakukan. Meskipun seorang ibu merasa mampu menghidupi dirinya sendiri dan juga anak-anak, namun bukankah lebih banyak hal positif yang bisa diperoleh anak apabila perhatian dan penghidupan yang layak datang dari kedua orangtuanya, tidak hanya dari salah satu pihak saja.
Selain malu meminta mantan suami untuk berkontribusi membesarkan anak-anak dari hasil perkawinannya, perempuan yang bercerai seringkali juga malu meminta hak-haknya terhadap harta bersama dalam perkawinan. Ada kalanya karena perempuan merasa bahwa harta tersebut diperoleh dari uang hasil kerja dari mantan suami sehingga dirinya tidak berhak memperoleh bagian dari harta bersama tersebut. Hal ini adalah hal yang keliru dan tidak seharusnya menjadinya alasan perempuan tidak menuntut haknya. Setiap harta yang diperoleh dalam perkawinan adalah milik suami dan istri, kecuali apabila ada perjanjian antara keduanya yang mengatur berbeda. Dengan demikian, apabila terjadi perceraian, maka sudah sepantasnya harta yang diperoleh dalam perkawinan tersebut dibagi secara adil bagi suami maupun istri.
Memperjuangkan hak kita bukanlah suatu hal yang memalukan. Menuntut hak pasca perceraian bukanlah bentuk ketidakmampuan perempuan yang masih mau bergantung pada mantan suami. Berjuang demi hak sendiri dan hak bagi anak-anak adalah bentuk perjuangan yang diharapkan ada dalam diri setiap orang, termasuk perempuan yang bercerai. Semoga kita semua, khususnya bagi perempuan yang bercerai dan ibu yang tangguh mengurus anak-anaknya seorang diri, semakin sadar dan berani memperjuangkan apa yang menjadi haknya tanpa merasa malu. Tentu saja dengan perlindungan hukum dari negara serta dukungan dari keluarga dan masyarakat sekitarnya. (*)
***
*) Penulis: Dika Putri Vindi Santika Anie, S.H. – Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM
*) Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, bukan tanggung jawab redaksi harianntb.com.