HarianNTB.com – Tahun 2018 Kabupaten Lombok Utara (KLU), Nusa Tenggara Barat (NTB) diguncang gempa dengan kekuatan 7.5 skala richter. Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) gempa tersebut menyebabkan korban meninggal dunia sebanyak 467 orang, 829 korban luka-luka, 101.735 jiwa mengungsi, dan sebanyak 62.874 unit rumah mengalami kerusakan sesuai jumlah penerima bantuan.
Hingga kini, memasuki tahun ke-empat sejak tahun 2018 lalu masih terdapat warga yang belum mendapatkan bantuan Rumah Tahan Gempa (RTG) sebagaimana yang telah dijanjikan oleh pemerintah.
Remanep, 26 tahun, warga RT 3 Dusun Semokan, Desa Batu Rakit, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara (KLU) adalah salah satu korban gempa yang belum dapat bantuan. Hingga saat ini, ia harus tinggal di Hunian Sementara (Huntara) selama 3 tahun.
Untuk menuju kediamannya dibutuhkan sekitar 1 jam perjalanan menggunakan sepeda motor dari pusat pemerintahan Kabupaten Lombok Utara di Tanjung. Akses jalan menuju rumah Remanep dari kediaman kepala Dusun Semokan di RT 2, harus ekstra hati-hati dengan medan yang cukup menantang. Karena, untuk sampai ke rumahnya harus melewati hutan dengan kondisi jalanan rusak dan berlubang.
Berdasarkan pantauan Harian NTB, kondisi jalan menuju kediaman Remanep sebagian sudah dirabat namun sudah rusak dan berlubang akibat tergerus hujan. Dipenghujung jalan menuju kediaman Remanep, harus melalui jalan setapak dan licin saat diguyur hujan. Jalan tersebut hanya bisa dilalui sepeda motor. Jika malam tiba, kondisi jalanan menjadi sepi dan gelap gulita, tidak ada lampu penerang jalan.
Kondisi Remanep cukup memperihatinkan. Huntara yang dibangun menggunakan bekas sisa reruntuhan rumahnya serta bahan bantuan dari masyarakat setempat. Bahkan bentuk Huntaranya pun memperihatinkan, hampir menyerupai gudang penyimpanan barang bekas. Karena, ruangannya itu penuh dengan perabotan rumah yang sudah lapuk, pakaian bergelantungan ada dimana-mana, serta masih ber-lantai tanah, dan dinding terbuat dari bambu. Jika hujan, kebocoran terjadi disana-sini.
”Saya tinggal dirumah ini sama ibu, termasuk istri dan anak. Kalau musim hujan rumah boros, itu bisa dilihat sendiri’’ ujar Remanep sambil menunjukkan air hujan yang bocor kepada Jurnalis Harian NTB saat ditemui dikediamannya, Kamis (3/3/2022).
Dikatakan, rumah tersebut sudah ditempati selama dua tahun, ”biaya pembangunannya dari hasil kerja sehari-hari, hasil buruh,’’ ujar Remanep.
Sebelum rumah itu dibangun, ia tinggal ditenda pengungsian selama enam bulan bersama istri dan satu anaknya yang masih berusia dua tahun ketika itu. Resah dengan kondisi kesehatan keluarganya, Remanep kemudian membuat berugak untuk ditempati selama setahun, selanjutnya bisa membuat rumah yang ia tempati sekarang ini.
”Ada berugak tempat saya tinggal di depan rumah yang ambruk akibat gempa, setelah itu saya berusaha bangun rumah ini,’’ ujarnya sambil menunjukkan rumah hasil jerih payahnya itu kepada Media ini.
Ia menuturkan, selama ini petugas hanya datang mengambil dokumentasi untuk poto-poto bangunan rumah yang rusak. Namun, sampai saat ini belum kunjung mendapat bantuan.
”Ada sekitar delapan kali petugas poto-poto. Sampai istri saya pernah bilang percuma poto-poto kalau nggak dapat bantuan,’’ ujar Remanep.
Jika dibandingkan dengan, ”yang lain-lain masih bagus rumahnya dia yang dapat bantuan, padahal kita yang ambruk sekali rumahnya itu kita yang tidak dapat,’’ ungkap Remanep.
Rumah Rusak, Anak luka-luka dan Suami Meninggal
Sekitar 300 meter dari rumah Rumanep, Nasib naas juga dialami Nurminten, 40 Tahun, warga RT 3 Dusun Semokan, Desa Batu Rakit, Kecamatan Bayan.
Nurminten, merupakan seorang ibu dari 6 anak, 4 diantaranya masih Sekolah Dasar, dan 2 diantaranya saat ini sudah menikah. Ia menuturkan, saat gempa pertama terjadi pada 2018 lalu. Mereka sedang berada di dalam rumah, dan langsung lari menyelamatkan diri.
Akibat kejadian itu, rumahnya rusak dan salah satu anaknya yang laki-laki berusia 10 tahun mengalami luka bocor di kepala dan luka robek dibagian kaki. Atas kejadian tersebut, anaknya kemudian dilarikan ke Puskesmas terdekat untuk mendapat perawatan.
“Gempa pertama kami didalam rumah, dan anak kami mengalami luka-luka, betis luka dan kepala bocor kemudian dibawa ke puskesmas dan mendapat jahitan sekitar sebelas jahitan,” jelas Nurminten kepada Harian NTB, Kamis (3/3/2022).
Pasca gempa itu, Nurminten bersama suaminya membangun tenda pengungsian di dekat rumahnya dan tinggal selama 1 tahun.
“Tinggal di pengungsian kami kehujanan, dari terpal kecil dari hasil beli sendiri, tidak ada bantuan, dulu pak Kadus kami tidak dapat bantuan sama sekali kalau yang lain semua dapat,” ungkap Nurminten kepada Kadus dan Jurnalis Harian NTB saat mengungjugi kediamannya.
Kemudian,”berselang dua tahun, suami meninggal karena sakit. Karena setelah gempa suami mulai sakit-sakitan sekitar 6 bulan,” lirih Nurminten.
Sekitar dua tahun bertahan hidup di berugak. Nurminten bersama keluarga dan menantunya mulai membangun rumahnya kembali diatas bekas pondasi rumahnya yang rusak akibat gempa. Rumah itu dibangun dari sisa-sisa reruntuhan rumahnya dan dari bahan yang dibelikan oleh keluarganya.
“Lebih dua tahunan tinggal di berugak, baru bangun rumah. Mau buat rumah pasca gempa, nggak ada yang buatin suami meninggal, akhirnya menantu dan kakak yang bikinin. Biaya dibantu sama keluarga, karena kasihan melihat anak-anak tinggal diberugak,” jelasnya Nurminten.
Rumah yang dibangun saat ini, “Kalau kehujanan, dalam rumah bocor, semua basah,” kata Nurminten.
Kini rumah tersebut ditempati oleh 11 orang, Nurminten bersama 6 anaknya, 2 orang cucunya, dan 2 orang menantunya. Pemerintah yang diharapkan untuk memberikan bantuan tempat tinggal hanya datang mengambil poto dokumentasi.
“Petugas sudah banyak datang, hanya ambil poto-poto agar dapat rumah, sampai sekarang tidak ada, sampai beridiri rumah yang kami bangun ini,” ungkap Nurminten kepada Harian NTB sambil menunjuk rumahnya yang berdinding bambu itu.
Satu Keluarga Hampir Meninggal
Selain itu, hal serupa juga dialami tetangganya yang berjarak sekitar 50 meter dari rumahnya, Misnalis, 45 tahun, yang mengaku rumahnya rusak berat akibat gempa 2018 lalu. Bahkan ia mengaku, hampir mengancam keselamatan semua anggota keluarganya.
‘’Pas gempa pertama terjadi, kalau kami telat bangun, mungkin kami se-keluarga meninggal ditempat, tempat tidur kami semua hancur. Dan gempa kedua atapnya ambruk, dan tembok hancur sampai atap,‘’ ungkap Misnalis kepada Harian NTB.
Pasca gempa 2018 itu, akhirnya ‘’ kami tinggal di pengungsian sekitar satu tahun lebih, dan dimana-mana kita numpang tidur,’’ katanya.
Ia menuturkan, selama di pengungsian ia tinggal bersama 11 Kepala Keluarga (KK) hingga membuat tenda pengungsian penuh dan terasa sesak.
‘’Semua penuh di dalam tenda, ada sekitar 11 KK,’’ singkatnya.
Tidak mau tinggal terus menerus ditenda pengungsian, akhirnya ia menjual hewan ternaknya berupa Sapi seharga Rp 10 juta untuk biaya membangun kembali rumahnya. Namun, uang tersebut tidak cukup, dan terpaksa mengais sisa-sisa reruntuhan rumahnya yang rusak akibat gempa dan membeli bambu yang murah untuk dianyam sebagai dinding rumahnya.
Hingga rumahnya itu dibangun dan ditempati oleh Misnalis bersama suami dan kelima anaknya, bantuan rumah tahan gempa (RTG) itu tidak kunjung datang.
”Kalau petugasnya banyak yang datang kerumah untuk poto-poto, sudah banyak sekali yang poto-poto. Ada sekitar 20 kali datang kerumah, namun bantuan tidak datang-datang’’ jelas Misanalis sambil menyelimuti dan menyusui anaknya yang masih bayi.
Kepala Dusun (Kadus) Semokan, Desa Batu Rakit, Dul Salam kepada Harian NTB membenarkan bahwa masih terdapat 10 korban di Dusun Semokan yang belum mendapatkan bantuan. Termasuk atas nama Remanep, Nurminten dengan nama Kepala Keluarga (KK) Ratnasih dan Misnalis atas nama KK Nurmanep.
Dikatakan, sebelumnya nama-nama tersebut sudah masuk data sebagai penerima bantuan RTG dalam SK-23. Namun pencairan berikutnya, ketiga nama tersebut bersama 7 orang lainnya tidak terdaftar sebagai penerima RTG.
‘’Jadi saya selaku Kepala Dusun juga bingung kenapa bisa tidak ada namanya 10 orang tersebut,’’ ungkap Dul Salam kepada Jurnalis Harian NTB, Kamis (3/3/2022).
Karena tidak terdaftar, kata Dul Salam, selanjutnya nama-nama tersebut diajukan kembali pada tahun 2021. Karena diminta oleh BPBD untuk verifikasi dan pengajuan ulang data-data tersebut.
”Kalau tidak salah satu tahun yang lalu, diminta untuk verifikasi ulang data-data itu oleh BPBD, kan kita bawa lagi data-data itu siapa-siapa yang hilang namanya itu kita ajukan kembali, tapi toh pada akhirnya tetap tidak keluar sampai pembagian buku tabungan kemarin itu (Januari 2022-red),’’ jelas Dulsalam.
Sebelumnya, kata Dul Salam, data tersebut telah diserahkan pada Kamis, 24 Juni 2021 sesuai bukti serah terima dokumen Data Penerima Bantuan SK tahap I, tahap II dan susulan.
Kepala Desa Sukadana yang merupakan Desa Induk Desa Batu Rakit sebelum pemekaran, Zul Rahman kepada Harian NTB mengaku, sampai saat ini tidak mengetahui 10 korban di dusun Semokan yang belum mendapatkan bantuan, karena belum ada laporan.
“Khusus untuk desa Semokan, belum ada sama sekali laporan kaitannya dengan adanya masyarakat yang mungkin layak mendapatkan tapi tiba-tiba tidak keluar namanya sampai saat ini belum ada informasi ke desa,” ungkap Zul Rahman.
Selain itu, “Termasuk pendamping juga tidak pernah melakukan komunikasi. Khususnya untuk di desa pemekaran (Desa Batu Rakit-red), dusun Semokan belum ada laporan,” katanya.
Sementara itu, Fasilitator data RTG untuk wilayah Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara (KLU) Muhammad Hafiz saat ditemui di Posko Terpadu Rehab Rekon mengatakan, hanya tiga nama yang sudah masuk datanya yakni atas nama Mistralip, Nurmanep dan Remanep.
“Ada 3 nama yang sudah diusulkan atas nama Mistralip, Nurmanep sama Remanep” ungkap Hafiz melalui pesan WhatsApp, Senin (7/3/2022) pada pukul 13.29 WITA.
Berdasarkan data yang diberikan, ketiganya sudah masuk usulan pada 5 Juli 2021. Mistralip masuk dengan Nomor 285, Nurmanep Nomor 286, dan Remanep Nomor 294.
Dikatakan, ketiganya merupakan usulan yang baru masuk dari kepala dusun yang belum dikirim ke pusat dan statusnya belum ada.
“Ini data usulan yang bersih, yang baru masuk dari kadusnya yang belum dikirim ke pusat. Belum ada statusnya,’’ ungkap Hafiz melalui pesan WhatsApp, Kamis (7/3/2022).
Sementara Nurminten atau Ratnasih, dan 4 orang lainnya tidak ada datanya masuk ke BPBD. Satu orang lainnya, atas nama Zaenal Abidin sudah menerima pada tahap 16 dan Sirahat dengan status Tidak Memenuhi Kriteria (TMK).
“Zaenal Abidin ini dia sudah dapat dulu ditahap 16 dia sudah berpokmas, nama pokmasnya itu Tunas Madu kalau Sirahat itu statusnya TMK,” katanya.
Koorwil Fasilitator BNPB untuk Kabupaten Lombok Utara (KLU), Gede Tazani, ST saat dikonfirmasi Harian NTB hingga saat ini belum memberikan jawaban terkait status korban gempa atas nama Remanep, Nurmanep dan Mistralip.
Padahal sebelumnya, ketiga orang tersebut dinilai sudah diusulkan oleh Kadus pada 24 Juni 2021, yang kemudian ketiganya tercatat dalam data usulannya pada 5 Juli 2021.
Sementara itu, Kepala Pelaksana (Kalak) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lombok Utara, M. Zaldy Rahadian kepada Harian NTB, Kamis (7/3/2022) mengatakan, jika data tersebut diserahkan setelah reviu dari BNPB pada bulan Desember 2021 maka data tersebut tidak diterima karena sudah ditutup.
”Kalau data itu dikasih setelah reviu dari BNPB bulan Desember itu kita sudah tidak bisa apa-apa lagi karena memang sudah close (ditutup-red),’’ ungkap Zaldy saat ditemui diruang kerjanya, Kamis (7/3/2022).
Ia mengatakan, kalau data tersebut sudah direviu dan sudah masuk namanya tinggal masyarakat menunggu masa Rehap Rekon.
“Kalau sudah direviu, tadi kan sudah beberapa masuk namanya tinggal menunggu saja, tapi nunggu masa Rehap Rekon karena begitu ditutup masa transisi barulah kita bisa menginjak masa rahap rekon tidak mungkin kita laksanakan tahun ini karena duit DSP itu sudah close,” katanya.
Dirinya berharap, kepada 10 korban yang belum mendapatkan bantuan, agar menyampaikan data dan dokumentasi kepihaknya apakah sudah masuk dalam reviu atau tidak.
“Kalau misalnya belum masuk hasil reviu maka akan dilakukan pengusulan lewat kegiatan program yang lain khusus di Kabupaten Lombok Utara ini. Ada Perkim disitu yang menangani perumahan dan pemukiman ya, silahkan diusulkan lewat situ karena ada juga surat teman-teman Perkim kesini mereka sedang menyusun SK penetapan terkait Rumah Tidak Layak Huni,” jelas Zaldy kepada Harian NTB. (DMS)