Kamis, Oktober 10, 2024

Ekowisata: Mampukah Menyeimbangkan Kepentingan Ekonomi, Sosial Budaya, dan Lingkungan?

HarianNTB.com – Mason Barnard, redaktur pada Harvard International Review (HFR) mengulas persoalan ekowisata dengan judul yang sangat provokatif Ecotourism’s Hidden Cost: “Green” Tourism Colonial Toll. Dalam artikel yang diterbitkan oleh majalah HFR Edisi musim gugur tahun 2013, Barnard menuturkan bahwa salah satu gagasan ekowisata adalah menginvestasikan dana hasil dari aktivitas ekowisata tersebut untuk didistribusikan kembali kepada dan untuk membangun serta memberdayakan masyarakat lokal. Di samping itu tentu saja yang tidak boleh terlewatkan adalah menjaga kelestarian lingkungan alam.

Alih-alih berhasil meningkatkan penghidupan masyarakat lokal, Barnard justru mencatat bahwa penduduk suku Masaai (Kenya) yang hidup di dalam dan sekitar kawasan konservasi justru tidak mengalami peningkatan taraf hidup. Bahkan mereka dilarang untuk melakukan aktivitas ekonomi sebagaimana layaknya masyarakat yang berada di luar kawasan itu. Aktivitas ekonomi komersial yang mengarah ke perekonomian modern dilarang oleh pemerintah lokal dengan mendasarkan diri pada argumen konservasi lingkungan, tanpa terkecuali budaya masyarakat lokal. Jadi masyarakat lokal sebisa mungkin dipertahankan kehidupannya dalam pola-pola primitif sehingga tetap menarik banyak wisatawan untuk berkunjung ke tempat itu. Dengan bahasa yang sangat sarkastik Barnard menyebut kondisi mereka sebagai terjebak dalam keprimitifan, dan terhalang dari masa depan. Sekali lagi demi memenuhi logika kapitalisme barat (Western capitalism), yang memandang indigenism sebagai sesuatu yang eksotik sehingga kemudian dikomodifikasi demi kepentingan akumulasi kapital.

Dampak lain dari ekowisata ini adalah hancurnya ekosistem lokal akibat tidak mampu menampung luapan wisatawan. Carrying capacity yang tidak berimbang kemudian mengganggu keseimbangan lingkungan. Dampak lain yang muncul adalah banyaknya spesies invasif yang masuk yang datang dibawa oleh para wisatawan tersebut. Dampak ini menjadi bukti konkret dari penelitian yang dilakukan oleh Waylen, KA., McGowan, PJK., PSG., Milner-Gulland, EJ. (2009). Waylen dkk menyatakan bahwa ekowisata berpengaruh secara positif terhadap jiwa kepedulian lingkungan wisatawan, namun tidak untuk perilaku konservasi lingkungan. Wisatawan sangat peduli terhadap kelestarian lingkungan, namun kedatangan para wisatawan ke lokasi ekowisata justru berdampak pada terganggunya keseimbangan lingkungan.

- Advertisement -

Beranjak dari beberapa kondisi yang telah dipaparkan tersebut, penting kiranya untuk membangun sebuah konsep wisata berbasis lingkungan (ekowisata) yang tidak saja mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat, namun juga memberikan jaminan kelestarian bagi lingkungan. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah terberdayakannya masyarakat sekitar dari aspek sosial budaya. Jangan sampai kondisi sosial budaya masyarakat setempat dikorbankan demi alasan pengembangan wisata.

Belajar dari Desa Karang Bajo, Lombok Utara

Desa Karang Bajo di Kabupaten Lombok Utara (KLU) mengembangkan konsep wisata berbasis lingkungan. Tema yang diusung adalah “Ekowisata adat berbasis konservasi dan pengembangan sumberdaya alam”. Konsep yang dibangun  meliputi beberapa poin. Pertama, pengembangan desain berperspektif kepulauan dan responsive terhadap perubahan iklim dengan ETV (Eco-technology Village) sebagai entry point sekaligus core program. Kedua, persiapan sosial desa melalui: visioning, commitment building, resources mobilization, dan penyadaran dan pengorganisasian.

Pengembangan ETV sebagai core program melalui tahap-tahap sebagai berikut: (1). Pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana fisik; (2). Pemanfaatan dan pendayagunaan, (3) Konservasi dan pengelolaan SDA; (4) Pengembangan dan penguatan kelembagaan; (5) Pengembangan tatakelola pengetahuan.

Konsep khusus yang dijalankan meliputi (1) Pengelolaan SDA sebagai sumber pangan, air, energi dan mata pencaharian serta bahan baku teknologi, pangan, dan energy; (2) Penyusunan acuan pembangunan kawasan berperspektif kepulauan dan responsive terhadap perubahan iklim; (3) Membangun kesamaan persepsi, visi dan misi serta kemungkinan sinergi program atau kegiatan para pihak; (4) Membangun kesepakatan dan mekanisme kolaborasi para pihak yang berpotensi untuk mendukung program dan kegiatan; (5) Memobilisasi dan menghimpun sumberdaya yang diperlukan untuk mewujudkan program yang digagas, termasuk membangun strategi keberlanjutan sumberdaya mandiri; (6) Penyadaran dan pengorganisasian untuk berpikir.

Skenario dalam pengembangan ekowisata ini sangat menarik karena menekankan adanya keseimbangan antara pemberdayaan ekonomi, pemberdayaan dan pengembangan nilai sosial budaya, dan konservasi sumber daya alam. Skenario pemberdayaan ekonomi masyarakat dijalankan melalui beberapa program berikut ini. (1) mempertahankan ekisisting mata pencaharian penduduk, sepertj petani, peternak, dll. (2) meningkatkan kemampuan/kapasitas penduduk. (3) memberikan wadah tempat usaha, (4) meningkatkan kapasitas produksi dan pendapatan warga.

Adapun skenario pemberdayaan sosial budaya dilaksanakan dengan beberapa program berikut. (1) penyediaan sarana dan prasarana untuk mengembangkan aktivitas sosial dan seni budaya. (2) penguatan sistem dan struktur pemerintahan desa; (3) mengembangkan sifat/rasa memiliki terhadap masa depan desa melalui peran aktif dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan fisik desa serta kerelaan sumbangan masyarakat desa untuk kepentingan umum/desa; (4) menjaga nilai-nilai atau norma yang berlaku di kehidupan masyarakat desa Karang Bajo; (5) saling menghargai, menghormati dan kerja sama antar umat beragama.

Adapun skenario konservasi wilayah Desa karangbajo dikembangkan sebagai berikut. (1) menyelamatkan sekeliling wilayah daratan Karang Bajo dari banjir, dikarenakan penebangan hutan adat secara liar; (2) penanaman pohon kembali terhadap pohon yang telah ditebang; (3) pengelolan sampah dalam mengatasi permasalahan sampah di Karang Bajo; (4) mengembangkan objek alami.

Konsep pengembangan ekowisata di Desa Karangbajo ini dapat menjadi contoh yang baik dari perencanaan pengembangan wisata berbasis lingkungan. Meskipun  dari sisi implementasi masih banyak yang harus dibenahi, namun dari sisi perencanaan sudah menunjukkan adanya pemahaman yang baik akan pentingnya keseimbangan antara peningkatan ekonomi masyarakat, pemberdayaan sosial budaya masyarakat, dan konservasi lingkungan hidup. Ketiga hal ini harus terus dipegang sebagai kunci pokok pengembangan ekowisata agar tetap berkelanjutan. Tabik!

***

*) Penulis: Rubangi Al Hasan, S.Sos., MPA– Balai Litbang Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu

*) Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, bukan tanggung jawab redaksi harianntb.com.

- Advertisement -

Related Articles

Stay Connected

1,929FansSuka
3,257PengikutMengikuti
22PengikutMengikuti
- Advertisement -

Latest Articles