Tanjung, HarianNTB.com – Mahid, seorang ayah berusia 50 tahun yang tinggal di sebuah gubuk di Desa Anyar, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara (KLU). Aktivitas sehari-harinya sebagai Marbot Masjid di Dusun Dasan Lendang. Ia menjalani profesi itu hampir 30 tahun hingga dikaruniai tiga anak dari istrinya, Saliah (48).
Kini, aktivitas itu harus ia tinggalkan setelah bebarapa hari yang lalu dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Lombok Utara. Sesampainya di Rumah Sakit dan mendapat perawatan, Mahid diponis oleh dokter menderita Stroke. Dengan kondisinya itu, Mahid menjalani hari-harinya di atas tempat tidur dan kursi Roda.
Sebagai kepala keluarga tentu sangat berat untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Pekerjaannya sebagai marbot kini terhenti karena penyakitnya itu.
Kisah pilu yang dialami Mahid tidak sampai disitu, sebelumnya pada tanggal 29 Juli dan 5 Agustus 2018 awal mimpi buruk untuk masyarakat Lombok khususnya Lombok Utara, terutama untuk Mahid dan keluarganya. Pasalnya, pada tanggal 29 Juli 2018 tersebut gempa hebat melanda Lombok dengan kekuatan 6,4 skala richter dengan kedalam 10 km.
Akibat gempa tersebut, anak keduanya Muiz Al-Ajis yang saat itu masih berusia 15 tahun harus kehilangan salah satu kakinya. Kakinya itu rusak karena terjepit jembatan dermaga di pantai Labuhan Carik saat gempa. Dengan luka yang cukup parah ia kemudian dilarikan ke Rumah Sakit.
‘’Saat gempa berlangsung saya sedang di dermaga Labuhan Carik, kemudian saya mencoba lari dan melompati jembatan, namun kaki saya sebelah kanan terjepit di jembatan,’’ kata Ajis panggilan akrabnya.
Dengan posisi kaki sebelah kanan terjepit Ajis tidak bisa berlari. Sementara masyarakat yang ada disekitarnya tidak sempat menyelamatkan Ajis karena panik. Akhirnya, Ajis seorang diri di dermaga dengan posisi kaki terjepit.
Berselang beberapa menit kemudian, setelah gempa berakhir dan situasinya cukup kondusif. Kemudian Ajis ditolong oleh masyarakat setempat dan tentangganya. Namun, saat hendak dievakuasi kaki Ajis masih terjepit dan tidak bisa diangkat saat ditolong oleh masyarakat. Akhirnya warga membawa peralatan seadanya untuk membuka jembatan di tempat kaki Ajis terjepit namun tidak berhasil.
Ketika masyarakat menolong Ajis, tiba-tiba terjadi gempa susulan yang menyebabkan jembatan yang menghimpit kaki Ajis terbuka lebar. Sehingga Ajis bisa diangkat dan dievekuasi dengan kondisi kaki telah hancur.
‘’Saat kaki saya terjepit, saya tidak merasakan sakit (mati rasa-red)’’ kata Ajis.
Berhasil dievakuasi, kemudian Ajis dilarikan ke rumah sakit terdekat, Puskesmas Bayan. Karena luka yang parah ia dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lombok Utara.
Sesampainya di RSUD Lombok Utara, ia kembali dirujuk ke Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat (RSUP NTB) dan harus diamputasi.
Tak cukup sampai disitu, pada tanggal 5 Agustus 2018 pada pukul 18:45:35 WIB gempa Lombok kembali terjadi. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika ( BMKG) gempa tersebut berkekuatan magnitudo 7,0 skala richter pada kedalaman 15 km.
Ketika gempa itu terjadi Mahid dan keluarganya masih di RSUP NTB menemani Ajis yang sedang dirawat itensip. Karena gempa besar itu, ia kemudian menerima kabar dari tetangga dan keluarganya jika rumahnya di kampung rata dengan tanah. Mendengar kabar itu, Mahid dan kelurganya hanya bisa berpasrah dan ikhlas rumah dan kaki anaknya hilang karena gempa.
Akibat kejadian tersebut, ia dan istri bersama tiga anaknya memutuskan untuk mengungsi di halaman Masjid selama 2 tahun sebelum rumahnya dibangun.
Kini tiga tahun berlalu pasca gempa 2018, Mahid dan Ajis kembali diuji. Mahid mengalami Stroke dan Ajis kembali merasakan sakit di bekas kakinya yang diamputasi, menurut pihak keluarga Ajis harus menjalani operasi kembali untuk membersihkan tulang yang pecah didalam kakinya. Sementara itu ayahnya, Mahid mengalami Stroke dan membutuhkan kursi Roda sehingga membutuhkan uluran tangan semua pihak. Berdasarkan penelusuran Harian NTB mereka tercatat masyarakat tidak mampu. (DMS)