HarianNTB.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengecam segala bentuk upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hal itu disampaikan Ketua Umum AJI, Sasmito Madrim dan Sekretaris Jenderal AJI, Ika Ningtyas dalam keterangan tertulis yang diterima Harian NTB, Minggu (9/5/2021).
Sasmito mengatakan, sejak Maret hingga April 2021, sebanyak 1.349 pegawai KPK mengikuti asesmen tes wawasan kebangsaan untuk pengalihan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Tes wawasan kebangsaan tersebut baru muncul setelah KPK mengesahkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara.
Menurut AJI, pelaksanaan tes tersebut diwarnai pertanyaan yang seksis dan melecehkan, mengandung bias SARA, serta diskriminatif. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul tersebut antara lain seperti: “Kenapa kamu belum menikah?”, “Mau tidak jadi istri kedua saya?”, “Kalau pacaran ngapain saja?”, “Kamu masih ada hasrat seksual atau tidak?”, “Kenapa kamu belum punya pacar?”, “Apa tidak punya teman laki-laki?” dan “Islam kamu Islam apa?.
AJI menilai pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak layak, mengganggu privasi dan tidak terkait dengan tugas yang diemban oleh pegawai KPK. Hal ini juga melanggar Pasal 28D ayat (2) UUD yang menekankan bahwa setiap orang berhak mendapat perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
“Munculnya tes wawasan kebangsaan tersebut adalah rentetan bentuk pelemahan terhadap KPK yang terjadi sejak Novel Baswedan disiram air keras, propaganda tak berdasar yang disebar buzzer ada “Taliban” di KPK”, pengesahan revisi UU KPK, terpilihnya Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri sebagai Ketua KPK, hingga Mahkamah Konstitusi menolak uji formil revisi UU KPK,” ungkap Sasmito.
AJI sebagai salah satu organisasi pers di Indonesia yang memiliki misi terlibat dalam pemberantasan korupsi menyatakan sikap untuk Mendesak Presiden RI Joko Widodo mengevaluasi proses asesmen yang melanggar HAM dan tidak menjadikan hasil tes wawasan kebangsaan sebagai syarat alih status pegawai KPK.
Selain itu ia juga mendesak Presiden dan DPR untuk mengevaluasi UU KPK hasil revisi yang semakin melemahkan KPK. AJI menilai sejak revisi UU KPK disahkan, terjadi kemunduran pemberantasan korupsi sepanjang 2020. Salah satunya ditunjukkan dengan data Indeks Persepsi Korupsi (CPI) dari Transparency International bahwa peringkat global Indonesia dari 85 dunia kembali turun menjadi 102 pada tahun 2020. Skor CPI Indonesia juga turun dari 40 pada tahun 2019 menjadi hanya 37 pada 2020.
Sasmito berharap kepada jurnalis dan perusahaan pers untuk tetap kritis terhadap proses seleksi peralihan status pegawai KPK maupun bentuk-bentuk pelemahan KPK lainnya. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 3 ayat (1) bahwa Pers nasional memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
“Kontrol sosial yang dimaksud yakni mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya,” jelas Sasmito. (DMS)