Penulis: Dr. Rizky Yuniansari, SH., M.Kn. ( Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram)
Dimasa saat ini tidak bisa dipungkiri bahwa masa pandemi telah merubah tatanan kehidupan manusia termasuk di Indonesia, banyak beberapa aspek terkena imbasnya, yang terbesar dalam hal perekonomian negara, yang mengharuskan setiap orang sebisa mungkin untuk mengurangi kegiatan diluar rumah, dan bekerja dari rumah, serta menghindari keramaian termasuk didunia perkantoran, dan juga dalam dunia bisnis baik mikro maupun makro terkena imbas yang cukup besar, hal ini menyebabkan pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari itu tidak cukup, atau bisa dibilang rakyat banyak mengalami kesulitan. Kini yang terbaru mengenai kenaikan biaya listrik disalah satu media online disebutkan bahwa dampak dari naiknya lonjakan tagihan listrik justru dianggap yang membuat tagihan listrik mereka naik adalah pribadi masing-masing. Ini karena selama pandemi Covid-19, masyarakat diharuskan untuk melakukan kegiatan dari rumah baik untuk kegiatan bekerja hingga sekolah. Di mana tidak hanya orang tua tapi anak dan anggota keluarga lainnya harus di rumah. Maka otomatis penggunaan listrik akan bertambah sehingga ada kenaikan. PLN memastikan adanya peningkatan tagihan rekening listrik pada pelanggan rumah tangga lebih disebabkan oleh meningkatnya penggunaan masyarakat akibat adanya pandemi virus corona yang membuat masyarakat banyak melakukan aktifitas di rumah. Dengan ini menyebabkan penderitaan rakyat seolah tidak ada habisnya. Kini wabah yang tak kunjung reda, sulit mendapatkan pekerjaan, lalu ada PHK di mana-mana, dan sulit membayar tagihan listrik. Masalah datang bertubi-tubi di masa pandemi.
Menurut saya ini seperti tidak ada ruang lagi bagi rakyat untuk dapat bernafas lega. Belum masa pandemi berakhir rakyat diberikan ujian baru mengenai biaya listrik, banyak para pelaku usaha juga merasa tidak adil atas kenaikan ini, seperti tempat-tempat usaha mereka banyak yang memilih tutup atau tidak berkatifitas selama 3 bulan belakangan ini tetapi tagihan listriknya naik. Jika dikatakan bahwa pihak PLN melakukan perhitungan rata-rata tanpa pengecekkan kerumah warga secara berkala menurut saya ini tidak elok, bahkan dapat menambah depresi bagi masyarakat yang menerima kabar kenaikan secara tiba-tiba.
Akhirnya banyak pula masyarakat yang berasumsi bahwa sanya kenaikan ini terjadi karena dua hal satu bisa saja kenaikan tarif listrik secara diam-diam atau karena kebijakan subsidi yang diterapkan untuk pengguna daya 450 VA dan 900 VA. Mengapa, yah, memang tidak ada asas keterbukaan yang dilakukan pihak PLN untuk transparansi secara riil tentang kenaikan listrik tersebut, yang terjadi sejak 3 bulan belakangan ini. Pemberitaan keluh masyarakat akan kenaikan listrik ini sudah terjadi dimana-mana bisa dilahat dari pemberitaan dibeberapa media elektronik dan media sosial.
Ingat, kita memiliki UU perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999, penghitungan skema rata-rata dan kenaikan tagihan listrik PLN ke pelanggan tidak memiliki dasar yang jelas, karena langkah PLN menentukan skema penagihan baru itu bisa saja berpotensi melanggar pasal 5 huruf C UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal itu, disebutkan bahwa konsumen wajib membayar pada nilai tukar yang disepakati.
Pada peraturan pemerintah soal PSSB pun tidak ada yang menyinggung tentang tarif dan keadaan ini banyak digunakan oleh beberapa perusahaan untuk membuat kebijakannya sendiri khusunya mengenai kenaikan tarif, padahal jelas kerugian masa pandemi sudah cukup merugikan semua pihak sehingga perlu di atur kembali atas pembebanan yang diberikan kemasyarakat khusunya tentang kenaikan biaya-biaya sehari-hari seperti salahnya tagihan listrik tersebut.